Kisah Mualaf: Tertarik dengan Islam karena Nyaman Bergaul

26 April 2022 11:33

GenPI.co Kepri - Ini kisah ku menjadi mualaf. Aku tertarik dengan Islam karena awalnya merasa nyaman bergaul dengan orang muslim.

Namaku Cindy Eka Ratnasari. Tapi sejak menjadi mualaf aku lebih dikenal dengan nama hijrahku yakni Inaayah.

Dulu aku adalah gadis yang tomboy. Saat masih SMA, aku adalah aktivis gereja. Suatu hari aku ke Yogyakarta dan terlibat dalam sebuah pementasan untuk keperluan ibadah.

BACA JUGA:  Keajaiban Ramadan: Alhamdulillah, Banjir Pesanan Kue Nastar

Ternyata peran utama diisi oleh para mahasiswa Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta jurusan teater.

Berawal dari tampil bersama aku menjadi akrab dengan mereka. Aku sering nongkrong, menginap di kosan dan main ke kampus mereka. Bahkan sering ikut saat mereka tampil di mana-mana.

BACA JUGA:  Keajaiban Ramadan: Lulus PPPK Setelah 7 Tahun Jadi Pendidik

Para mahasiwa ISI kenalanku ini kebanyakan laki-laki. Tapi mereka begitu menjagaku, aku sudah dianggap adik sendiri oleh mereka.

Meski aku berbeda iman (karena mereka muslim) dan bukan keluarga tapi mereka tetap menyayangiku. Mereka juga santun dan sopan.

BACA JUGA:  Kisah Mualaf: Sering Lihat Orang Salat Memotivasi Belajar Islam

Kedekatan dan kenyamanan dengan mereka ini membuatku tertarik dengan Islam. Aku jadi berpikir ternyata orang Islam baik-baik.

Pulang ke Batam aku lalu mulai belajar mengenal Islam dari tetangga dekat rumah. Aku pun menjadi mualaf pada 2 November 2006. Saat itu aku baru saja lulus SMA.

Awal menjadi mualaf, hidupku pahit. Apalagi keluargaku bangkrut habis-habisan. Godaan yang menggoyahkan iman sangat banyak, yang paling utama itu ekonomi.

Semua mualaf itu biasanya terbuang dari keluarga. Aku juga. Saat baru masuk Islam aku tidak diakui sebagai anak oleh Papa.  Barulah di tahun ketujuh aku menjadi mualaf papaku luluh.

Aku kemudian menikah dengan laki-laki muslim. Ekonomi kami cukup berat, untuk menambah penghasilan aku berjualan kue.

Aku mulai benar-benar kuat dan merasa keimananku kokoh antara tahun 2016 dan 2017. Saat itu aku mondok di salah satu pesantren di Bantul, Yogyakarta.

Meski sudah lama menjadi mualaf, tapi sampai sekarang aku masih terus belajar. Belajar mengaji dan belajar ibadah-ibadah lainnya.

Harus diakui aku merasa kesulitan belajar bahasa Arab saat membaca Al Quran, sehingga aku biasanya mempelajari surat-surat pendek misalnya, dari tulisan latin.

Mesipun aku masih terus belajar, namun aku juga ingin memberikan manfaat untuk orang di sekitarku, dan tentu agamaku.

Saat ini aku sudah 4 tahun dipercaya menjadi Ketua di sebuah yayasan sosial dan dakwah, Yayasan Inaayah Batam.

Yayasan ini menjadi jembatan kebaikan umat. Apapun titipan dari donator kami jembatani untuk menolong orang baik di mainland maupun di pulau-pulau.

Kami biasanya antar bantuan ke pulau unuk renovasi masjid atau musala. Selain itu juga membuat pengajian penguatan tauhid di pulau-pulau, juga di lembaga pemasyarakatan (lapas).

Saat ini aku juga mengurus anak yatim dan tak mampu di rumah singgah penghafal Al Quran.

Ada 10 anak yang kami tampung untuk mereka bisa sekolah di pondok pesantren, lalu mereka pulangnya ke yayasan untuk menghafal Al Quran.

Buat teman-teman para dermawan yang ingin ikut berpartisipasi pada yayasan kami, bisa menghubungi call center di 085263700360. Saat ini kami sedang membuat asarma putri di lantai dua untuk penghafal Al Quran. (*)

*Kisah Mualaf seperti yang dituturkan Cindy Eka Ratnasari atau Inaayah kepada GenPI.co Kepri.

Redaktur: Asrul Rahmawati

BERITA TERKAIT

Copyright © 2024 by GenPI.co KEPRI